Asbabul Nuzul Surat An Nisaa

Asbabun Nuzul Surah An-Nisaa’ (1)
asbabun nuzul surah al-qur’an

4. “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[1]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
(an-Nisaa’: 4)

[1] pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, Karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abu Shalih bahwa biasanya kaum bapak menerima dan menggunakan maskawin tanpa seizin putrinya. Maka turunlah ayat ini (an-Nisaa’: 4) sebagai larangan terhadap perbuatan itu.

7. “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.”
(an-Nisaa’: 7)

Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu Hibban di dalam Kitab al-Faraaidl (ilmu waris), dari al-Kalbi, dari Abu Shalih, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa kebiasaan kaum jahiliyah tidak meberikan harta waris kepada anak wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa. Ketika seorang Anshar bernam Aus bin Tsabit wafat dan meninggalkan dua orang putri serta seorang anak laki-laki yang masih kecil, datanglah dua orang pamannya, yaitu Khalid dan ‘Arfathah, yang menjadi asabat*. Mereka mengambil semua harta peninggalannya. Maka datanglah istri Aus bin Tsabit kepada Rasulullah saw. untuk menerangkan kejadian itu. Rasulullah bersabda: “Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan.” Maka turunlah ayat tersebut (an-Nisaa’: 7) sebagai penjelasan tentang hukum waris dalam Islam.

Asabat adalah ahli waris yang hanya mendapat sisa warisan setelah dibagikan kepada ahli waris yang mendapat bagian tertentu (kamus besar bahasa Indonesia, 1989, Jakarta, hal 50)

11. “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(an-Nisaa’: 11)

12. “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”
(an-Nisaa’: 12)

[272] bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan nabi.
[274] memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

Diriwayatkan oleh Imam yang enam, yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa Rasulullah saw. disertai Abu Bakr berjalan kaki menengok Jabir bin ‘Abdillah sewaktu sakit keras di kampung bani Salamah. Ketika didapatkannya tidak sadarkan diri, beliau minta air untuk berwudlu dan memercikan air padanya, sehingga sadar. Lalu berkata Jabir: “Apa yang tuan perintahkan kepadaku tentang harta bendaku?” maka turunlah ayat tersebut di atas (an-Nisaa’: 11-12) sebagai pedoman pembagian harta waris.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim, yang bersumber dari Jabir, bahwa istri Sa’d bin ar-Rabi’ menghadap Rasulullah saw. dan berkata: “Ya Rasulallah. Kedua putri ini anak Sa’d bin ar-Rabi’ yang menyertai tuan dalam perang Uhud dan ia telah gugur sebagai syahid. Paman kedua anak ini mengambil harta bendanya, dan tidak meninggalkan sedikitpun, sedang kedua anak ini sukar mendapatkan jodoh kalau tidak berharta.” Rasulullah saw. bersabda: “Allah akan memutuskan persoalan tersebut.” Maka turunlah ayat hukum pembagian waris seperti tersebut di atas. (an-Nisaa’: 11-12)

Keterangan: menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, berdasarkan hadits tentang kedua putri Sa’d bin ar-Rabi’, ayat ini (an-Nisaa’: 11-12) turun berkenaan dengan kedua putri itu dan tidak berkenaan dengan Jabir, karena Jabir waktu itu belum mempunyai anak. Selanjutnya ia menerangkan bahwa ayat ini (an-Nisaa’: 11-12) turun berkenaan dengan keduanya. Mungkin ayat 11 pertama berkenaan dengan kedua putri Sa’d dan bagian akhir ayat itu, yaitu (an-Nisaa’: 12) berkenaan dengan kisah Jabir. Adapun maksud Jabir dengan kata-katanya, “turun ayat 11”, ingin menyebutkan hal penetapan hukum waris bagi kalaalah (orang yang tidak meninggalkan anak dan ayah), yang terdapat pada ayat selanjutnya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari as-Suddi bahwa orang Jahiliyah tidak meberikan harta waris kepada wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa atau yang belum mampu berperang. Ketika ‘Abdurrahman (saudara Hassan bin Tsabit, ahli syair yang masyur) wafat, ia meninggalkan seorang istri bernama Ummu Kuhhah dan lima orang putri. Maka datanglah keluarga suaminya mengambil harta bendanya. Berkatalah Ummu Kuhhah kepada Nabi saw. mengadukan halnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (an-Nisaa’: 11) yang menegaskan hak waris bagi anak-anak wanita dan ayat (an-Nisaa’: 12) yang menegaskan hak waris bagi istri.

Diriwayatkan oleh al-Qadli Isma’il di dalam kitab Ahkaamul Qr’aan, yang bersumber dari ‘Abdulmalik bin Muhammad bin Hazm bahwa peristiwa Sa’d bin ar-Rabi’ berkaitan dengan turunnya surah an-Nisaa’ ayat 127. ‘Amrah binti Hazm –yang ditinggal gugur oleh suaminya (Sa’d bin ar-Rabi’, sebagai syahid di perang Uhud,- menghadap Nabi saw. dengan membawa putrinya (dari Sa’d bin ar-Rabi’) menuntut hak waris. Surah an-Nisaa’ ayat 127 tersebut menegaskan kedudukan dan hak wanita dalam hukum waris.

Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh dkk

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Temu Kangen Alias Reunian SMA Cimindi

Amalan Anak Kunci Pembuka Khasanah Langit dan Bumi

KEBUN TEH PANGHEOTAN CIKALONG WETAN